Monthly Archives: Desember 2014

Ngomongin dia, sakitnya tuh disini

Ngomongin dia, sakitnya tuh disini

10534564_531850260248739_4905849177468417064_n

Ini nih pekerjaan yang melelahkan, menghabiskan banyak waktu dan bisa ngebikin sakit berkepanjangan. Ngerumpi, ngegosip, ngrasani, maidu, mbulli, dan saudara-saudaranya. Meski sebenarnya kerjaan ini capek tapi jarang dirasa karena memang (bisa jadi) menyenangkan. Apalagi ketemu tuh sama temen-temen sehobi, nggak kerasa meski berjam-jam. Pengalaman di rumah soalnya, punya toko kecil (baca : warung milik ibu) alhamdulillah rame setiap saat. Nggak Cuma rame orang pada beli, tapi sambil belanja tuh pada ngerumpi di depan toko. Perasaan jamaah pengajian ibu-ibu nggak segayeng ini deh..

Beberapa tahun lalu, mungkin sampai sekarang masih (jarang nonton tv sekarang), kalau sudah Donna Arsinta menyapa dengan Siletnya, seakan-akan tuh seperti disayat-sayat bener. Bakat bener tuh orang ya jadi juru kampanye. Temen-teman saya, banyak yang meniru gayanya yang khas dan mantap itu saat berbicara. Tak tanggung-tanggung, sekarang bukan hanya cara bicaranya saja yang ditiru tapi juga kebiasaannya. Nemuin apa di facebook langsung share, ada berita apa agak aneh gitu dibagiin, nemu gambar meme yang gokil buat perang-perangan. Ntar, kalo ada yang jatuh, sakitnya tuh disini.

Menilik sekian banyak persoalan besar di negeri ini, sebagian besar terjadi karena urusan perbincangan ini. Harga diri dan kehormatan itu sekarang harganya murah sekali. Ngasih komentar dari siulan di tweeter sampai demo besar-besaran sudah mendeskreditkan nilai-nilai etika. Bangsa ini rusak karena sudah tidak ada lagi rasa saling menghormati. Presiden saja sekarang jadi keset, yang lebih menohok lagi seorang wanita telanjang sekarang bisa mengkritik ustadz sak penak udele dhewe. Sakitnya tuh disini.

Pernah dipesenin rasulullah saw dulu, nampaknya telah terjadi saat ini. Sahabat Anas ra meriwayatkan, “akan datang atas manusia suatu masa dimana keadaan orang mukmin pada masa itu lebih hina daripada domba (binatang). (H.R. Muslim, Ibn Sakir)

Jadi inget sama anecdotnya Bro Anwar Zahid dalam jumpa fansnya, “Neng ndeso-ndeso kuwi, nduwe anak, wayahe maghrib durung mulih isih bal-balan, ngono kuwi ora atek nggoleki og, tapi nek wayah maghrib pitik iseh bal-balan, bingung nek nggoleki.”

Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, “Di desa-desa itu, kalau anaknya saat maghrib belum pulang karena masih main bola, mereka tidak mencari. Tapi kalau ayam-ayamnya saat maghrib (masih main bola) belum di kandang, mereka bingung mencarinya.”

Deskripsi sederhana ini memberikan gambaran realita saat ini, saat harta itu dipandang lebih berharga dari manusia.  Dalam pengertian lebih lanjut, kepentingan untuk mendapatkan materi itu lebih diprioritaskan dibandingkan dengan kepentingan untuk berdampingan menyambung tali persaudaraan.

Mengapa manusia itu bisa menjadi rendah berawal dari saat ia merendahkan orang lain. Bermula dari melihat keburukan yang dilakukan seseorang, mengklaim, kemudian menceritakannya. Saat orang melihat seseorang yang lain katakanlah si “A” melakukan kesalahan atau keburukan, seringkali keburukan itu yang mendominasi pikiran. Apalagi ketika kesalahan-kesalahan berikutnya mengikuti, semakin menegaskan orang tersebut untuk memberikan stempel negatif kepada si “A”. Suatu saat si “A” berbuat baik, yang datang adalah cibiran, “ah, itu sih cuma pencitraan, biasanya juga nggak gitu”. Ada yang lebih konyol lagi, ketika orang kita cuma ndeger berita miring soal si A lantas kita ikut nyebar-nyebarin, jadi TOA. Belum juga jelas sumber beritanya. Emang lagi musimnya sekarang begitu.

Sakitnya tuh disini, ngerasa nggak sih?

Pada sebuah kasus sederhana, misalnya kamu jadi si Bunga (nama samaran) dan si Malas (nama julukan). Bunga tinggal satu kos dengan si Malas, kebetulan satu organisasi pula. Bunga sudah terlanjur tidak suka dengan si Malas. Eh.. suatu saat si Malas ketiban rejeki, pada ditraktir tuh temen-temennya. “Wah, selama aku (Bunga) pasang muka masam terus nih sama dia (si Malas), masak ikut-ikutan makan, ya enggak lah..

Ini kejadian Cuma traktiran di warung hik, nggak rugi-rugi amat kalo ga dapet. Coba rejekinya si Malas lebih gedhe ntar, traktirannya di resto, atau liburan ke mana gitu rame-rame sama temen-temen, mlongo dek kamu Bunga…

Sekarang coba dipikir, apa salahnya si Malas hingga ia dipanggil “si Malas”. Toh ia cuma malas mandi mungkin, malas nyuci piring, atau males mbantuin ngerjakan tugas kamu, atau barangkali ia malas datang rapat. Biarin aja toh dia sendiri yang rugi, kamu lihat baiknya saja. Kalau nggak ketemu-ketemu baiknya? Ah, lupakan tentang dia fokus urusan yang lain. Biasanya persoalan itu terjadi ketika kita melihat teman kita lebih sukses dari kita, sementara kita memandangnya sebagai orang yang, ya…. tak sebanding lah dengan kita.

Saurada, salah satu bagian mendasar dari kehidupan ini adalah urusan kita berhubungan dengan manusia yang lain. Kalau kita mau berhubungan baik dengan Tuhan supaya mendapatkan limpahan kebahagiaan dari-Nya, maka Tuhan tidak akan memberikan kebahagiaan itu kecuali kita juga menjalin hubungan yang baik dengan sesama pencari kebahagiaan. Tuhan akan menilai kualitas diri kita saat menghadapi berbagai karakter manusia. Kalau semua yang kita lakukan itu diperuntukkan tuhan, buat apa lah pujian, sanjungan. Kalau sudah bener niatan kita bekerja supaya Allah yang ngasih Upah, tak perlu lah kita galau soal si fulan dan si fulanah yang gak baik kelakuannya. Toh kita bisa dapat gaji tambahan dengan membimbing mereka.

Kata Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam Al Fawa’id, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kejayaan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawaduk dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemahuannya untuk membantu sesama manusia. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan pangkatnya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai keperluan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”

Son Dc/Terinspirasi kembali 21/12/14